July 27, 2024

Ahli: Girik Bukan Bukti Sah Kepemilikan atas Tanah

0

Sidang tanah yang terletak Rangkapan Jaya, Depok, di PN Depok, Kamis (1/8/2019).

Jakarta, Topvoxpopuli.com – Girik bukanlah barang bukti yang sah untuk memiliki sebidang atau lebih tanah. Barang bukti yang sah dan mempunyai kepastian hukum dalam memiliki tanah adalah sertifikat hak milik. Girik hanyalah bukti permulaan memiliki sebidang atau lebih atas tanah, bukan barang bukti kepemilikan sah dan mempunyai kepastian hukum.

Hal itu dikatakan pakar Hukum Pertanahan dari Universitas Pancasila Jakarta, Dr. B.F. Sihombing, S.H.,M.H. di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Jawa Barat, Kamis (1/8/2019) sore.

Sihombing merupakan ahli yang dihadirkan penggugat dalam sidang sengketa tanah yang terletak di Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat. Sidang itu dipimpin hakim Ramon Wahyudi, S.H.MH.

Para penggugat dalam perkara ini adalah 46 ahli waris Pegawai Negeri Sipil Kementerian Luar Negeri, diantaranya, Betsy Sujanto dan Tony Hartono, dkk.  Para penggugat menggugat Muchdan Bakrie yang merupakan ahli waris almarhum HMT Bakrie (Tergugat I), Koperasi Pegawai dan Pensiunan Bulog Seluruh Indonesia (Kopelindo-tergugat II), Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Cq. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat Cq. Kantor Pertanahan Kota Depok (turut tergugat I), Gubernur Jawa Barat (turut tergugat II), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Cq. Pejabat Pembuat Komitmen (P2K) Pengadaan Tanah Jalan Tol Depok – Antasari (turut Tergugat III).

Keterangan ahli di atas sehubungan dengan tergugat mengklaim tanah tersebut di atas miliknya dengan dasar  dasar Girik C 1730, Persil 17 D.I seluas ± 12,9500 ha, yang terletak di Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.

Pada tahun 1971, ayah tergugat I (almarhum HMT. Bakrie) telah menerima tanahnya atas dasar Girik C 1730, Persil 17 D.I seluas ± 12,9500 ha, yang terletak di Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, namun kemudian tanah tersebut terkena ketentuan tanah guntai/absentee, yakni tanah guntai adalah tanah yang pemiliknya bukan dari daerah bersangkutan. Tanah ini dikenakan sebagai tanah guntai/absentee berdasarkan ketentuan pemerintah.

Para penggugat memiliki tanah tersebut dengan alas hak sertifikat hak milik. Namun, ke-111 sertifikat hak milik yang dimiliki penggugat dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sihombing mengatakan, sertifikat hak milik tidak bisa dibatalkan PTUN. Sebab keputusan PTUN bersifat administratif, yang tidak bisa membatalkan hak perdataan memiliki tanah. “Yang bisa membatalkan sertifikat hak atas tanah sebagai hak keperdataan adalah pengadilan negeri. Keputusan hakim-hakim yang disidangkan di Pengadilan Negeri,” tegas Sihombing.

Sihombing mengatakan,  tanah yang sudah terkena sebagai guntai/absentee otomatis giriknya dicoret dan tidak berlaku laku lagi sejak dicoret oleh pejabat terkait.

Sampai saat ini masing-masing kavling milik para penggugat tersebut telah ada Site Plannya dan sejak saat diperoleh hingga saat gugatan ini diajukan, fisik tanahnya masih dikuasai oleh para pengggugat.

Menurut Sihombing, tanah yang secara fisik dikuasai seseorang atau oleh satu pihak, maka siapa pun atau pihak lain tidak bisa menggugat ke PTUN. “Menguasai secara fisik artinya menempati tanah itu dengan batas-batal masih jelas. Kalau pun tidak ditempati tapi di atas tanah yang dimaksud ada bukti kepemilikan seperti pohon yang ditanam, kuburan, bangunan serta batas-batal masih jelas,” kata dia.

Tarsisius Triyanto, salah satu kuasa hukum dari 46 orang yang merupakan ahli waris dan pensiunan PNS Deplu yang bertindak sebagai penggugat dalam kasus ini sesaat sesuai sidang kasus ini, Kamis mengatakan, sebelum tanah tersebut dimiliki oleh para penggugat, tanah tersebut merupakan tanah negara.

Dimana negara telah menguasai tanah yang terletak di Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Kabupaten Bogor atas dasar  Undang-Undang Pokok Agraria Nomo 5 Tahun 1960, L.N. Tahun 1960 Nomor 104 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Agraria tertanggal 8 Januari 1962 No.SK-VI/6/Ka dan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1961 tentang Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee atau Guntai.

Dimana tanah milik ayah tergugat I (Alm. HMT Bakrie) atas dasar Girik Nomor 1730, Persil 17 D.I seluas ± 12,9500 ha, yang terletak di Desa Rangkapanjaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Kabupaten Bogor telah terkena ketentuan tanah guntai/absentee tersebut karena amarhum ayah tergugat I bertempat tinggal di luar kecamatan letak tanah, sehingga tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara.

Berkaitan dengan tanah milik ayah tergugat I (almarhum HMT Bakrie) yang terkena ketentuan tanah guntai/absentee tersebut, berdasarkan arsip dokumen yang para penggugat miliki.

Ayah tergugat I (Alm. HMT. Bakrie), pada tahun 1963 bertempat tinggal di Jalan Hang Tuah Nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta, telah mengetahui adanya ketentuan larangan pemilikan tanah absentee/guntai tersebut dan oleh petugas Panitia Land Reform tingkat Desa Rangkapan Jaya maupun tingkat kecamatan. Telah diberitahukan kepada ayah tergugat I (alm. HMT. Bakrie) baik dengan cara mendatangi secara langsung maupun dengan cara di undang.

Almarhum ayah tergugat I (almarhum H.M.T. Bakri) berdasarkan suratnya, tertanggal 16 September 1971 yang ditujukan kepada Kepala Agraria Kabupaten Bogor, telah menerima tanahnya letter C.1730 No. 123 seluas ± 12 ha terkena ketentuan Land Reform dan memohon agar kelebihan luas dari batas maximum dapat dimohonkan kembali untuk diberikan kepada anak-anaknya.

Terhadap tanah milik ayah tergugat I (alm. HMT. Bakrie), pihak pemerintah juga telah menawari ganti rugi kepada bekas pemilik yang ditetapkan berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang telah diusulkan pada tahun 1980 dan telah diperkuat dengan S. K. Dewan Pengurus Yayasan Dana Land Reform Pusat tahun 1981 sebesar Rp 647.500,- (Enam Ratus Empat Puluh Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah).

Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang mengatur: “pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja, menghalang-halangi pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya, sebagai yang dimaksud Pasal 2 ayat 2 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000,- sedang tanahnya diambil oleh pemerintah tanpa ganti kerugian”.

Tanah almarhum H.M.T. Bakri yang telah dikuasai oleh negara tersebut awalnya diredistribusikan dan diberikan hak milik kepada 78 (tujuh puluh delapan) orang penggarap berdasarkan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Jawa Barat, tertanggal 16 Desember 1965 Nomor V/B/54/Insp/1965 dengan luas tanah ± 10,2201 ha. Sedangkan sisanya seluas ± 2,7299 Ha dipergunakan untuk sarana desa, poliklinik dan lapangan olahraga.

Penerima redistribusi tersebut di atas tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana diterapkan dalam Surat Keputusan Pemberian Haknya yang antara lain membayar uang pemasukan kepada Negara, namun dijual kepada Karyawan Departemen Luar Negeri berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 23 September 1967 Nomor 1 Depok/1967 yang dibuat oleh dan dihadapan John Leonard Woworuntu Notaris/PPAT.

Oleh karena hal tersebut di atas, maka Surat Keputusan Redistribusi kepada 78 orang penerima hak (Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Jawa Barat tanggal 16 Desember 1965 No. V/B/54/Insp/1965) telah dicabut/dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Surat Keputusan, tanggal 2 Agustus 1978 Nomor SK.81/DJA/1978 yang isinya menyebutkan, antara lain, pertama, tanah letter C 1730 No. 123, persil No.17, seluas 12.950 ha terletak di Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Depok, Kabupaten Bogor yang dikenal sebagai tanah milik almarhum ayah Tergugat I (bertempat tinggal di Jakarta) dinyatakan tetap terkena ketentuan tanah absentee/guntai dan kepadanya dapat diberikan uang kerugian menurut tata cara dan syarat-syarat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Kedua, menetapkan kembali tanah-tanah yang dimaksud dalam dictum ke empat surat keputusan ini sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Ketiga, pengaturan kembali mengenai pemberian hak atas tanah yang dimaksud di atas, diserahkan kepada Gubernur Kepala Daerah Up. Kepala Direktorat Agraria Propinsi Jawa Barat sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku dengan prioritas pertama diberikan kepada Karyawan Departemen Luar Negeri.

Keempat, memerintahkan kepada Bupati Kepala Daerah up. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten Bogor dan Gubernur Kepala Daerah up. Kepala Direktorat Agraaria Propinsi Jawa Barat untuk memproses pemberian sesuatu hak atas tanah kepada karyawan Departemen Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam dictum ke enam Surat Keputusan ini.

Kelima,  berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, tertanggal 2 Agustus 1978 Nomor  SK.81/DJA/1978 tersebut, kemudian Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Cq. Kepala Direktorat Agraria telah mengeluarkan Surat Keputusan, tertanggal 30 Maret 1979 No. 727/Dit.PHT/HM/1979 dan  telah memutuskan untuk memberikan hak milik kepada karyawan Departemen Luar Negeri, Mas Chan dkk (149 orang) atas tanah yang terletak di desa Rangkapandjaja, Kecamatan Depok, Kabupaten Bogor  dan atas hal tersebut oleh Kepala Kantor Agraria Kabupaten Bogor telah menerbitkan 111 (seratus sebelas) Sertipikat  atas nama Sukirman, dkk, dimana sertifikat yang diterbitkan tersebut termasuk sertifikat hak milik para penggugat seluas 69,627 m² atas dasar Surat Keputusan Gubernur di atas. Sedangkan yang belum diterbitkan sertipikat sebanyak 38 sertipikat seluas 23,019 m² dan luas 2,7299 ha dipergunakan untuk sarana desa, klinik dan lapangan olahraga. [TVP/Edi Hardum]

 

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *