Teddy Minahasa Layak Dihukum Mati

0

Irjen Pol Teddy Minahasa

Oleh: Dr. Siprianus Edi Hardum, S.IP, S.H., M.H.

HAMPIR setiap hari masyarakat Indonesia disuguhi berita mengenai tindak pidana narkoba. Berita beberapa bulan terakhir yang memalukan masyarakat Indonesia sekaligus mencoreng nama Indonesia di dunia internasional adalah kasus tindak pidana narkotika yang melibatkan Irjen Pol Teddy Minahasa.

Dikatakan memalukan dan mencoreng nama Indonesia karena Teddy Minahasa adalah penegak hukum, polisi. Di pundaknya tersemat dua bintang dan memegang jabatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda). Jabatan yang menentukan dalam menjalankan undang-undang Polri, demi tujuan dari Polri yakni melindungi dan mengayomi masyarakat serta menegakkan hukum.

Penulis dan tentu masyarakat Indonesia umumnya berpandangan bahwa seorang anggota Polri apalagi yang mempunyai jabatan tinggi seperti Teddy Minahasa tidak mungkin melakukan pelanggaran hukum apalagi pelangaran hukum berat dengan ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati.

Teddy Minahasa telah divonis hukuman seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Selasa (9/5/2023).  Teddy Minahasa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 114 ayat 2 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Atas putusan tersebut, jaksa penuntut umum secara resmi mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, Jumat (12/5/2023). Pihak Teddy Minahasa juga mengajukan upaya hukum banding.

Dari sini, Teddy Minahasa secara hukum belum tentu bersalah. Vonis atas dirinya belum inkrach (berkekuatan hukum tetap).  Namun penulis sebagai orang yang belajar hukum memastikan bahwa dengan vonis seumur hidup dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat maka Teddy tetap dinyatakan bersalah di tingkat pengadilan yang paling tinggi (kasasi).

Silang Pendapat

Sesaat setelah majelis hakim memvonis seumur hidup untuk Teddy Minahasa, muncul silang pendapat di tengah masyarakat. Hal ini terlihat di media social dan media massa.

Ada yang berpendapat, vonis seumur hidup Teddy Minahasa sudah pantas. Namun, ada yang berpendapat, seharusnya Teddy Minahasa divonis hukuman mati karena tindak pidana yang diduga dilakukan Teddy tergolong berat. Bahkan, ada yang berpendapat, kejahatan yang diduga dilakukan Teddy jauh lebih berat dibandingkan kejahatan yang yang diduga dilakukan Irjen Pol (Purn) Ferdy Sambo. Pasalnya, Ferdy Sambo diduga hanya membunuh satu orang, namun Teddy Minahasa diduga membunuh jutaan rakyat Indonesia dengan narkoba yang “dimainkannya”.

Peredaran narkoba sudah sangat kasat mata, mulai dari kota-kota provinsi sampai masuk ke desa-desa. Para pengedar narkoba sepertinya mencari konsumen atau korban tanpa kenal lelah. Para orang tua Indonesia sepertinya tidak merasa aman dan nyaman akan anak-anak mereka karena “serangan” pengedar narkoba ini.

Karena itulah, banyak kalangan menempatkan tindak pidana  narkoba ini sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Pakar Pencucian Universitas Trisakti, Yenti Ganasih, mengatakan, secara internasional, kejahatan narkoba dan korupsi itu masuk dalam serious crime, bukan extraordinary crime. (Abimanyu, 2017: 5).

Selain narkoba, dua tindak pidana lainnya yang masuk dalam extraordinary crime yakni tindak pidana korupsi, tindak terorisme.  Tiga tindak pidana ini hampir setiap hari  diberitakan media massa dan media social.

Presiden Joko Widodo mengatakan, jumlah korban meninggal akibat narkoba di Indonesia terlalu besar. Setiap tahun, kata Presiden, 15.000 generasi muda mati karena narkoba. Sementara itu, Budi Waseso (mantan Kepala BNN) menyatakan,  40-50 orang per hari meninggal karena narkoba dan kerugian akibat narkoba mencapai Rp 63,1 triliun (Abimanyu, 2017:34).

Badan Narkotika Nasional Republik (BNN-RI) tahun 2015 mencatat kematian seseorang karena narkoba telah mencapai 50 orang dalam sehari.

BNN mencatat jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia diperkirakan telah mencapai sekitar 3,5 juta orang pada 2017. Sekitar 1,4 juta di antaranya adalah pengguna biasa dan hampir 1 (satu) juta orang telah menjadi pecandu narkoba.

Menurut BNN, saat ini obat-obatan ilegal telah mencapai tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil, bahkan desa-desa kecil, dan merambah ke semua lapisan masyarakat, termasuk pekerja dan siswa, pria-wanita, dan anak-anak.

Sebab Musabab

Mengapa peredaran narkoba sangat kasat mata dan korbannya hampir menyentuh semua lapiran masyarakat ?  ?  Pertama, aparat penegak hukum ikut “bermain” dalam kasus narkoba. Aparat penegak hukum ini bermain mulai dari tingkat penyidikan di tingkat polisi (Polsek, Polres, Polda bahkan Mabes Polri), sampai di tingkat penuntutan (jaksa) dan tingkat hakim.

Sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2021, Mabes Polri mengungkap keterlibatan anggota Polri dalam tindak pidana narkotika, dimana sebanyak          1.858 orang anggota polisi ditangkap dan ditindak. Kalau dimasukan dengan Teddy Minahasa berarti sebanyak 1.859 orang yang telah ditindak Mabes Polri.

Dari 327 kasus narkoba yang melibatkan anggota Polri tahun 2021, dua kasus yang paling menarik perhatian public adalah kasus narkoba yang menjerat mantan Kasie Identifikasi Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Riau, Kompol IZ, yang ditangkap karena menjadi kurir narkoba. IZ kala itu ditangkap saat membawa sabu sebanyak 16 kilogram di Jalan Soekarno Hatta, Kota Pekanbaru, Riau.

Kasus lainnya yang menarik perhatian public adalah  keterlibatan Kapolsek Astanaanyar, Jawa Barat, Kompol Yuni dan 11 anak buah ditangkap terkait penyalahgunaan narkoba. Dalam kasus tersebut, Kompol Yuni dinyatakan positif mengandung zat amphetamine atau sabu usai menjalani tes urine. Ia pun dimutasi sebagai perwira menengah Polda Jabar dalam rangka proses penyidikan.

Pada pertengahan Februari 2021, Tim Reserse Kriminal Mabes Polri mendapati beberapa tahanan narkoba di ruangan tahanan Mabes Polri yang terletak lantai Basement asyik mengonsumi narkoba jenis ganja. Ketika ditelusuri narkoba jenis ganja itu didapat dari seorang oknum polisi di Mabes Polri yang bertugas di Direktorat Narkoba di Lantai 7 Gedung Bareskrim Polri. Oknum itu diberi tindakan tegas dari Direktur Narkoba Mabes Polri.

Dan yang paling baru tindakan tegas Polri dalam hal ini Polda Metro Jaya adalah menangkap Teddy Minahasa.  Ia diduga menjadi pengendali penjualan narkoba seberat lima kilogram. Keterlibatan Teddy terendus setelah tim dari Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya menangkap sejumlah petugas polisi terkait peredaran narkoba. Teddy dijerat Pasal 114 ayat 3 sub Pasal 112 ayat 2 Jo Pasal 132 ayat 1 Jo Pasal 55 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman maksimal hukuman mati dan minimal 20 tahun penjara.

Kedua, menurut penulis yang menjadi penyebab selanjutnya adalah mengonsumsi narkotika sebagai kebutuhan. Bagi orang yang sudah menjadi pecandu narkoba, akan sulit melepaskan barang haram tersebut dari hidupnya. Bahkan tidak ada uang pun, si pecandu akan berjuang keras bahkan mencuri pun menjadi pilihan agar bisa membeli barang haram tersebut. Banyak sekali keluarga memberikan testomoni, ketika anaknya atau salah satu anggota kelurganya menjadi pengkonsumsi narkoba apa saja yang ada di rumah, dijual hanya untuk mendapatkan uang untuk membeli narkoba.

Ketiga, tindak pidana narkotika sebagai kejahatan transnasional atau lintas negara. Hal ini secara eksplisit UU 35 / 2009 tentang Narkotika dalam  pertimbangan poin (e) menyatakan, “bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut”.

Sebagai kejahatan lintas negara, agak sulit bagi aparat penegak di suatu negara untuk mendeteksi serta mencegahnya. Banyak proses transaksi narkoba dilakukan dengan alat komunikasi yang canggih seperti lewat email, akun facebook, tweeter dan telepon selulur.

Keempat, bisnis narkoba merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Perdagangan narkoba merupakan lahan bisnis yang sangat menjanjikan suatu keuntungan yang besar. Apalagi Indonesia, merupakan lahan subur untuk pengedar, karena banyak pemakai di Indonesia baik pemula, maupun rutin memakai serta sudah menjadi pecandu. Jadi adanya penjual di Indonesia karena adanya pemakai. Ada demand (permintaan) maka supplay (ketersediaan) pun ada, atau sebaliknya.

Dari bisnis narkoba di Indonesia, para pengedar atau bandar narkoba memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jika di Malaysia hanya shabu hanya setara dengan nilai Rp 450 juta / kg, maka harga shabu yang sama di Indonesia bisa mencapai Rp 1,2 miliar/kg. (Rifai, 204:5).

Menurut data BNN, omzet peredaran narkoba dalam satu tahun di Indonesia diperkirakan mencapai nilai Rp 20 triliun. Itulah sebabnya Indonesia dikatakan sebagai surga bagi pengedar dan bandar internasional.

Secara global, pada umumnya kegiatan perdagangan narkoba dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan, seperti antara lain Yakusa di Jepang, Triad di Cina, mafia Sisilia di Italia, dan beberapa kartel narkoba di Eropa, Asia, Australia maupun di Amerika Latin (Nicaso, 2003:7). Organisasi kejahatan tersebut dapat mendulang keuntungan finansial yang sangat fantasis dari kegiatan perdagangan narkoba.

Kelima, Lembaga Pemasyarakatan yang “Kotor”. Hal lain yang membuat maraknya peredaran narkoba di Indonesia karena lembaga pemasyarakatan bukan sebagai tempat napi narkoba bertobat tetapi justru menjadi bertambah jahat. Masyarakat Indonesia tentu tidak membantah dengan pernyataan seperti ini. Petugas lapas atau sipir justru menjadikan pengedar narkoba di dalam lapas sebagai “ATM” atau sumber uang. Contoh keterlibatan petugas lapas dalam kasus narkoba ini adalah Bareskrim Polri membongkar pabrik sabu di dalam Lapas Narkotika Cipinang, Jakarta Timur, pada 5 Agustus 2013, yang melibatkan terpidana narkoba Freddy Budiman.

Atas kasus ini, sejumlah petugas lapas ikut ditahan oleh polisi. Bahkan Kepala Lapas Narkoba Cipinang dan wakilnya ikut dipecat dari jabatan mereka.

Keenam, awalnya ingin mencoba akhirnya ketagihan dan jadi pecandu. Banyak pemakai narkoba bahkan pecandu narkoba di Indonesia, mengaku bahkan memberi testomoni bahwa awalnya mereka hanya ingin mencoba mengkonsumsi narkoba, dan tidak ingin menjadi pecandu. Namun, yang namanya zat narkoba mempunyai zat adiktif, maka seseorang yang hanya ingin mencoba namun kemudian pasti menjadi candu. Para pengedar umumnya dalam mencari dan menciptakan konsumen, mereka memberi secara gratis kepada orang yang belum pernah pakai sampai tiga kali. Selanjutnya si pemakai harus memberi barang haram karena otomatis sudah jadi pecandu.

Solusi

Sebagaimana dijelaskan di atas, begitu banyak sebab mengapa kejahatan narkoba di Indonesia semakin menjadi-jadi. Idealnya solusinya pun harus komprehensif. Namun bagi penulis adalah paling pertama dan utama aparat penegak hukum terutama dalam hal ini Polri harus bersih dari tindak pidana narkoba.

Agar anggota dan pejabat Polri tidak terlibat dalam tindak pidana ini, maka siapa pun aparat penegak hukum yang terlibat dalam tindak pidana narkoba haruslah dihukum maksimal.

Karena itulah, penulis kecewa dengan vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang hanya menghukum Teddy Minahasa cuma seumur hidup. Menurut penulis, idealnya Teddy Minahasa harus divonis hukuman mati.

Penulis sependapat dengan pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan yang diduga dilakukan Teddy Minahasa jauh lebih berat tindak pidana yang diduga dilakukan Ferdy Sambo. Hal ini tentu kalau mengacu pada  pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa setiap tahun 15.000 generasi muda mati karena narkoba. Atau pernyataan Budi Waseso (mantan Kepala BNN) menyatakan,  40-50 orang per hari meninggal karena narkoba dan kerugian akibat narkoba mencapai Rp 63,1 triliun.

Oleh karena itu, penulis berharap Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman untuk Teddy Minahasa dari seumur hidup menjadi hukuman mati. Kita berharap dengan hukuman maksimal aparat penegak hukum yang terlibat tindak pidana narkoba akan membuat jera seluruh aparat penegak hukum. Semoga !

[Penulis adalah advokat dan alumnus S3 Ilmu Humum Universitas Trisakti Jakarta, menulis Disertasi soal Tindak Pidana Narkoba di Indonesia]

 

 

 

 

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *